Lintah darat pendidikan yang bertajuk Badan Hukum Pendidikan (BHP) akhirnya disahkan juga. Memang jika ada rancangan undang-undang mengarah pada kapitalisasi yang hanya akan menguntungkan kaum pemilik modal dan mencekik rakyat jelata, maka yakinlah pengesahannya hanya masalah waktu. Lain halnya dengan peraturan yang bertujuan untuk menjaga moral bangsa (misalnya UU Pornografi) pengesahannya diwarnai dengan berbagai polemik


Atau ketika pemerintah didesak untuk mengelurakan aturan yang akan menjaga akidah umat, terkait pembubaran ahmadiyah sebagai aliran sesat, sampai saat ini pun aturan itu tak kunjung ada.
Kembali dengan modus operandi lamanya, pemerintah berusaha menenangkan hati masyarakat dengan sedikit melakukan kamuflase publik, agar mereka mau menerima konsep BHP sebagai instrumen pengatur sistem pendidikan. Pemerintah begitu bangga karena menurut mereka BHP adalah produk asli karya bangsa Indonesia. Selain itu pemerintah berdalih dengan konsep BHP maka sekolah dan kampus akan diberikan otonomi seluas-luasnya untuk menyelenggarakan proses pendidikannya. Itu artinya konsep BHP akan menjadi suatu legal-status kemandirian institusi pendidikan yang meniscayakan tidak adanya campur tangan pemerintah.
Namun walaupun racun dibalut dengan madu, ia tetap akan mematikan. Bagaimanapun BHP diselimuti dengan janji kemajuan pendidikan dan otonomi institusi pendidikan, kebobrokannya tetap akan tercium. Tengok saja bagaimana nasib beberapa kampus ternama di Indonesia yang telah menjadi korban “malpraktek” percobaan penerapan konsep BHP. Apakah nasib kampus-kampus itu menjadi lebih baik, seperti yang dijanjikan pemerintah? Ternyata tidak. Misalnya UI, pada tahun 1999 Dana Peningkatan Kualitas Pendidikan (DPKP) sebesar 1,5 juta rupiah, meningkat tiga kali lipat dari biaya sebelumnya yang hanya limaratus ribu rupiah. Untuk program Prestasi Minat Mandiri (PPMM) mengharuskan mahasiswa membayar uang masuk sebesar 50-60 juta rupiah, belum termasuk uang pangkalnya (admission free) yang kisarannya antara 5 – 25 juta rupiah.
Lain di UI lain pula di ITB, sebagai salah satu prototipe kampus BHP. Pada tahun 2007 ITB membutuhkan anggaran pendidikan sebesar Rp 392 miliar. Konsekuensi dari konsep BHP adalah kemandirian kampus termasuk dalam hal pencarian dana pendidikan. Terpaksa ITB harus mencari jalan keluar agar kebutuhannya terpenuhi. Lalu ITB menetapkan biaya SPP regular (S1) untuk tahun ajaran 2007/2008 sebesa 3,25 juta rupiah/semester. Bahkan sekolah bisnis manajemen dikenakan biaya sebesar Rp 625.000/SKS. Seperti inikah konsep kemandirian yang dijanjikan oleh pemerintah?
Ini adalah harga mahal yang harus dibayar bangsa ini akibat diterapkannya pendidikan bebasis pada sistem kapitalis-sekuler. Ideologi kapitalisme meniscayakan sektor politik, ekonomi, termasuk pendidikan dikelola dengan pengelolaan yang kapitalistik. Apapun boleh dijual selama mendatangkan keuntungan walaupun dengan itu rakyat harus tercekik dan menangis. Pendidikan yang awalnya bersifat sosial berubah menjadi profit oriented. Visi misi pendidikan yang begitu suci telah berubah dan dijadikan instrument yang dapat mendatangkan pundi-pundi rupiah. Tampaknya pemerintah tidak sadar jika konsep politik ekonomi lissez faire seperti yang diserukan Adam Smith telah mewabah dan merasuki dunia pendidikan. Intinya biarkan bebas, pemerintah jangan ikut campur tangan dalam permasalah regulasi ekonomi termasuk pendidikan.
Seharusnya para mahasiswa atau siapapun yang menentang konsep BHP jangan terjebak hanya sebatas menentang pemberlakuan BHP. Karena BHP adalah buah dari hegemoni sistem kapitalisme yang kian melilit bangsa ini. Menolak BHP tanpa menolak sistem global yang melahirkannya (kapitalisme) jelas tidak akan menyelesaikan masalah. Olehnya itu diperlukan adanya sistem alternatif untuk mengganti sitem kapitalisme. Dan ternyata jawabannya ada pada syariat Islam.
Paradigma sistem kapitalisme dalam mengelola pendidikan sangat berbeda dengan sistem syariat Islam. Sistem Islam memandang bahwa pendidikan adalah kebutuhan masyarakat. Oleh karena itu pemerintah wajib mewujudkan pendidikan gratis kepada semua warga negaranya tanpa terkecuali. Baik itu muslim maupun non muslim, semuanya wajib mendapat pelayanan pendidikan gratis. Karena dalam Islam fungsi pemerintah adalah melayani kepentingan masyrakat, bukan malah menjadi lintah yang menghisap darah rakyatnya.
Mungkinkah sistem Islam mewujudkan pendidikan gratis? Jawabnya sangat mungkin. Ambil contoh dalam APBN 2007 anggaran sektor pendidikan adalah Rp 90,1 triliun. Jumlah ini sangat mungkin terpenuhi jika pengelolaan sumber daya alam dikelola dengan sistem Islam pula. Dalam Islam kekayaan alam tidak boleh dimiliki oleh individu (seperti apa yang diprektekkan dalam sistem kapitalisme saat ini) melainkan harus dikelola oleh negara dan keuntungannya dikembalikan kepada masyarakat.
Sebut saja potensi hutan berupa kayu (data 2007) sebesar US$ 2,5 miliar atau sekitar Rp 25 triliun rupiah. Selain itu potensi hutan berupa ekspor tumbuhan dan satwa liar (data 1999) sebesar Rp 15 triliun. Ditambah lagi dengan pendapatan emas PT.Freeport di Papua sebesar Rp 40 triliun dan pendapatan gas blok Cepu pertahun sekitar Rp 10 triliun.
Dari empat potensi itu saja telah diperoleh dana Rp 90 triliun. Jika masih kurang tegakkan supremasi hukum yang berbasis pada hukum Islam yang tegas tanpa pilih kasih, maka akan diperoleh tambahan Rp 54 triliun. Data ICW tahun 2006 menyebutkan angka korupsi Indonesia sebesar Rp 14,4 triliun. Dan harta negara yang hilang akibat illegal loging sebesar Rp 40 triliun.
Ini baru potensi kekayaan Indonesia saja. Bagaimana jika kaum muslimin sedunia melebur dan mendirikan institusi politik yang pernah dibangun oleh Rasulullah saw yaitu daulah khilafah islamiyah yang akan mempersatukan seluruh negeri kaum muslimin? Tentu ini akan menjadi kekuatan yang sangat dahsyat. Bayangkan saja potensi kekayaan alam Indonesia digabungkan dengan potensi kandungan ladang minyak yang ada di Timur Tengah. Jangankan membiayai pendidikan gratis, pembiyaan kesehatan dan pelayanan publik yang lain bukan mustahil bisa dilaksanakan dengan gratis. Kemakmuaran dan kesejahteraan pun akan terjamin, seperti apa yang terjadi pada masa kegemilangan Islam dibawah pimpinan khalifah Umar Abdul Aziz yang pada saat itu tak ada satu pun warga negaranya yang hidup miskin.
Fakta diatas adalah bukti urgensi penerapan syariat Islam secara kaffah. Karena sistem pendidikan Islam tidak akan mungkin bisa berdiri sendiri tanpa ada dukungan pendanaan dari sistem ekonomi yang kokoh. Kekokohan sistem ekonomi dapat terwujud jika diterapkan sistem ekonomi Islam. Sistem Ekonomi Islam pun tak dapat berdiri sendiri tanpa ditopang oleh sub sistem Islam yang lain.
Sistem pendidikan Islam yang mengharuskan pendidikan dikelola dengan biaya murah bahkan gratis, bukan berarti menomorduakan kualitas pendidikan. Selain gratis, kualitas pendidikan Islam pun tak perlu diragukan. Karena dalam paradigma Islam tidak ada pemisahan antara pendidikan sains dan pendidikan agama, seperti apa yang diterapkan saat ini. Adalah hal yang wajar jika sistem pendidikan Islam mampu melahirkan sosok seperti Ibnu Sina. Beliau ahli dalam bidang kedokteran juga pakar dalam fiqh Islam. Atau Al-Khawarizmi sang penemu angka nol. Beliau adalah pakar matematika namun kualitas ilmu keislamannya tak perlu diragukan.
Maka tak ada solusi lain tanggalkan konsep BHP dan hancurkan induk yang melahirkannya yaitu sistem kapitalisme yang telah terbukti menjadikan pendidikan sebagai barang mahal. Satu-satunya sistem yang layak menggantikan sistem kapitalime adalah sistem Islam yang telah terbukti kegemilangannya mampu memimpin sekaligus mensejahterakan dunia. Namun penarapan sistem Islam tidak sempurna jika tidak diwujudkan institusi politik tangguh (khilafah islamiyah) yang akan mengawal sekaligus melindungi penerapan sistem Islam.

0 komentar:

Posting Komentar