Foto-foto dengan senyum manis merekah berseliweran dimana-mana. Untuk lebih menarik perhatian foto tersebut dibumbui dengan berbagai kata “bijak” mulai dari yang menjanjikan kesejahteraan dan perbaikan disegala bidang sampai janji-janji yang terkesan kosong tak bermakna. Semua itu dilakukan sebagai suatu usaha untuk menebar pesona dengan harapan mampu menumbuhkan rasa simpati dihati masyarakat. Tujuan akhirnya adalah mendulang suara di pemilihan calon legislatif yang tinggal beberapa bulan.
Ya, mereka adalah para politis yang mencoba mengadu keberuntungan memperebutkan kursi legislatif. Kuatnya magnet kursi legislatif, membuat banyak bermunculan “politisi karbitan”. Kualitas tak lagi menjadi parameter utama. Yang terpenting adalah menebarkan aura kharismatik melalui berbagai macam aksi-aksi pragmatis.

Hal ini diperparah dengan kecerdasan politik masyarakat yang masih dibawah rata-rata. Keberpihakan mereka pada salah satu politisi bukan karena kematangan visi dan misinya namun lebih disebabkan oleh faktor emosianal yang timbul akibat kuatnya tebaran aura sang politisi. Fenomena ini diaminkan oleh aksi partai politik yang lebih memilih meminang orang-orang ternama semisal artis, ketimbang mengusung kadernya sendiri. Walhasil lahirlah poilitisi tak berkualitas.
Lalu bagaimana sebenarnya sosok politis Islam sejati dambaan umat yang akan mampu menjadi pemimpin sekaligus “problem solver” terhadap problematika hidup yang kain mencekik? Tak bisa dipungkiri, transformasi sosial dalam suatu negeri tak bisa terjadi tanpa andil politisi. Namun untuk menuju suatu tatanan kehidupan yang lebih baik tentunya tak cukup jika ruang-ruang perjuangan hanya diisi oleh “politis instan”. Politis yang mampu mengawal perubahan adalah politsi ideologis yang berjuang murni atas dorongan ruhiyah karena menyadari bahwa aktifitas politik adalah wujud ibadah kepada Allah SWT. Inilah semangat pergerakan yang seharusnya dimiliki oleh para politisi Islam.
Ternyata Islam sebagai pandangan hidup (ideologi) yang sempurna mempunyai parameter sehingga seseorang layak dikatakan sebagai politisi Islam sejati, siapakah mereka?
Ciri pertama adalah selalu konsisten memperjuangkan Islam sebagai ideologi. Artinya seorang politisi Islam selalu menuntut agar Islam tidak hanya diyakini sebagai akidah individu semata, namun menuntut agar Islam diterapkan sebagai sistem kehidupan yang akan mampu menyelesaikan problematika keumatan. Bagi seorang politis Islam sejati, tawaran ini adalah harga mati dan tidak boleh ada kompromi didalamnya. Disetiap kampanyenya yang selalu diserukan adalah opini penegakan syariat Islam serta meyakinkan kepada masyarakat, bahwa hanya Islamlah yang akan membuat mereka keluar dari krisis multidimensional saat ini.
Sayangnya untuk sekaran, karakter seperti ini belum tampak. Kader-kader partai Islam cenderung masih malu menunjukkan warna keislamannya secara terang-terangan. Hal ini bukan menyelesaikan masalah, justru menimbulkan masalah baru. Manuver politik yang masih malu-malu menunjukkan “jenis kelamin” partai membuat masyarakat menilai antara partai Islam dan partai sekuler tak ada bedanya.
Ciri selanjutnya, seorang politis Islam sejati akan melaksanakan aktivitas politiknya tanpa pamrih, semata-mata untuk meraih ridha Allah SWT. Rasulullah dan para sahabat selalu dijadikan sebagai panutan dalam menjalankan amanah politiknya. Panggung politik dijadikan sebagai mimbar dakwah dalam rangka mengagungkan kalimat Allah dan demi mempermulus jalan menegakkan kemuliaan Islam dan kaum muslimin melalui penerapan syariat Islam secara menyeluruh.
Sangat bebeda dengan hawa perpolitikan dan pola tingkah politisi saat ini. Kursi legislatif dan parlemen dijadikan sebagai ladang mata pencarian baru yang mampu menghasilkan lembaran-lembaran rupiah. Motif politisi saat ini untuk duduk dikursi legislatif tidak lagi murni memperjuangkan kepentingan rakyat, namun motif mengejar materi terasa jauh lebih kental.
Ciri lain seorang politisi Islam sejati adalah memperkuat edukasi umat tentang pentingnya penerapan syariat Islam mulai dari aspek individu, masyarakat, bahkan sampai dengan legalisasi syariat Islam dalam perundang-undangan negara. Sosok politis seprti ini sudah barang tentu akan membawa angin segar dan pencerdasan kepada umat.
Proses edukasi politik adalah sebuah keniscayaan dalam sistem perpolitikan Islam. Karena dalam Islam berbicara tentang politik adalah berbicara tentang bagaimana mengatur berbagai urusan rakyat dengan Islam. Edukasi politik yang dilakukan mencakup penyadaran kepada umat bahwa satu-satunya sistem kehidupan yang layak diterapkan adalah sistem Islam. Lalu memberikan solusi kepada umat untuk keluar dari cengkraman kapitalisme global yang dijejalkan oleh negara imperialis dan telah menggiring dunia terjerumus ke dalam kubangan krisis finansial global.
Namun untuk kondisi kekinian tampaknya realisasi langkah diatas masih jauh dari harapan. Saat ini politisi yang mengaku politisi Islam masih cenderung ragu meramaikan dagangan politik 2009 dengan “jualan” syariat Islam. Mereka memilih mengusung syariat Islam dari segi substansinya saja. Padahal jika mereka sedikit berani dan secara gamblang menyatakan diri sebagai pengusung syariat Islam, bukan tidak mungkin masyarakat akan melirik mereka. Dalam sebuah survey yang dilakukan ole SEM Institute pada tahun 2008, terkuak fakta bahwa 82% rakyat Indonesia mendukung penerapan syariat Islam. Seharusnya meningkatnya dukungan terhadap penerapan syariat Islam, berbanding lurus dengan meningkatnya perolehan suara partai Islam. Anehnya dibeberapa pilkada justru tingkat golput pun semakin tinggi. Ini salah satu indikasi bahwa partai Islam dan politisi yang mengaku sebagai politisi Islam belum mampu memikat hati masyarakat.
Ciri lain seorang politisi Islam sejati adalah memiliki pola sikap (nafsiyah islamiyah) yang Islami. Bagi seorang politisi Islam konsep pemikiran cemerlang yang selalu dilandaskan pada akidah Islam tidaklah cukup. Konsep pemikiran ini harus ditopang dengan pola sikap yang Islami. Ciri utama seorang politisi Islam yang memiliki pola sikap yang Islami adalah ridha dan bencinya, senang dan susahnya selalu didasarkan pada Islam. Ia mampu menundukkan hawa nafsunya dan menjadikan aturan Islam sebagai aturan tertinggi. Ia lebih mencintai Allah dan Rasul-Nya daripada harta bahkan dirinya sendiri. Politis dengan mental seperti ini tentunya sangat sulit tergoda dengan kemaksiatan apapun, termasuk uang suap.
Bagaimana dengan politisi saat ini? Sangat jauh untuk dikatakan “Islami”. Hawa nafsu telah menjalar sampai ke ubun-ubun. Halal dan haram tak lagi menjadi pertimbangan utama. Sudah menjadi rahasia umum jika digedung parlemen bertebaran “amplop” dimana-mana. Pengakuan seorang mantan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sangat mencengangkan. Menurutnya, bertebarannya amplop Rp 5 juta atau Rp 10 juta di lembaga perwakilan tersebut seperti ayah member jajan anaknya Rp 1000 sehari. Sudah biasa. Pengakuan anggota DPR Agus Chondro tentang adanya suap untuk mengegolkan Miranda gultom menjadi pejabat teras Bank Indonesia (BI). Ditambah lagi dengan terbongkarnya sogok dalam maslah hutan lindung, terungkapnya suap demi meloloskan undang-undang pesanan, adalah pemandangan sehari-hari yang dianggap biasa. Wajar saja jika masyarakat semakin tidak percaya pada instansi pemerintah dan politisi yang ada didalamnya. Inilah buah yang harus dipetik ketika sistem yang diterapkan bukanlah sistem Islam.
Beberapa karakter politisi diatas menggambarkan bagaimana sebenarnya seorang politisi muslim sejati yang sampai saat ini sangat didambakan kehadirannya. Karakter politisi Islam sejati yang akan membawa bangsa keluar dari keterpurukan. Merekalah yang akan mewujudkan Islam menjadi rahmatan lil alamin (rahmat bagi semesta alam).
Ini menjadi tugas para calon legislatif untuk memiliki karakter sebagai seorang politisi muslim sejati. Apalagi bagi mereka yang mengaku berasal dari partai dakwah. Jangan sampai Islam dijadikan sebagai komuditi politik saat kampanye. Namun ketika kekuasaan diraih, Islam pun ditanggalkan.
Untuk para calon legislatif, bersegeralah memiliki karakter sebagai politisi Islam sejati. Jangan pernah menyalahkan umat yang memilih untuk tidak memilih (baca: golput) karena sampai hari pemungutan suara tiba, politisi Islam sejati tak kunjung ada.

Dimuat di Harian tribun timur Makassar

0 komentar:

Posting Komentar