Cobalah anda mengitari setiap sudut “kampus merah” ini dan memperhatikan papan pengumuman. Di beberapa papan reklame kampus mulai terpampang beberapa panflet yang memberitakan kepada khalayak kampus bahwa akan segera diadakan sebuah perhelatan akbar tahunan bertajuk inaugurasi mahasiswa baru.
Inaugurasi adalah ritual tahunan yang telah menjadi menu wajib dalam dunia kemahasiswaan. Laksana sayur tanpa garam, hambar terasa jika dalam satu periode kepengurusan inaugurasi tidak diselenggarakan. Bahkan tampaknya inaugurasi telah menjadi kultur lembaga yang sulit dipudarkan kepekatan warnanya. Inaugurasi telah mendapat porsi spesial dalam penyusunan program kerja. Kegiatan lain boleh dihilangkan, tetapi tidak untuk inaugurasi.

Sejatinya inagurasi adalah sebuah prosesi penerimaan dan pengukuhan resmi. Untuk konteks kemahasiswaan inagurasi adalah kegiatan untuk menyambut adik-adik mahasiswa baru. Pesan luhur yang ada dalam kegiatan ini adalah menyatukan semua junior dan senior agar tidak ada lagi tabir pembatas antara mereka. Selain itu inaugurasi pun dijadikan momentum pengkaderan untuk mewariskan soft skill dan karakter luhur nan bijak seorang senior kepada juniornya. Terbukti dari kepanitiaan inaugurasi yang memposisikan junior (mahasiswa baru) sebagai panitia teknis dan jajaran senior sebagai panitia pengarah. Memang jika struktur kepanitiaan seperti ini sangat memungkinkan terjadinya interaksi yang intens antara junior dan senior, walhasil persaudaraan pun akan terjalin.
Jika substansinya seperti diatas lalu apa yang salah dengan inaugurasi? Memang tidak ada yang salah dengan konsep dasar inaugurasi yang menghendaki terwujudnya persaudaraan, namun pada tataran praktis perhelatan ini menyimpang jauh dari nilai dasarnya. Ironisnya penyimpangan ini telah dibakukan dan diaminkan sebagai kultur organisasi.
Sudah menjadi hal yang lumrah inaugurasi wajib dilaksanakan dengan format acara akbar yang spektakuler. Karena, meriahnya acara inaugurasi berdampak langsung terhadap naiknya gengsi organisasi.
Bukti spektakulernya acara inaugurasi salah satunya dilihat dari pemilihan tempat pelaksanaan yang representatif dan terbilang mewah. Untuk level Unhas tempat yang menjadi langganan pelaksanaan inaugurasi adalah gedung terbesar yang berdiri kokoh ditengah kampus ini yaitu Baruga A.P Pettarani dengan daya tampung ribun orang dan hanya digunakan untuk acara-acara akbar. Dan inaugurasi adalah salah satunya.
Tidak cukup dengan itu, untuk lebih meninggkatkan gengsi inaugurasi beberapa fakultas bahkan memilih gedung mewah diluar kampus yang harga sewanya saja mencapai belasan juta rupiah. Jumlah yang begitu fantastik untuk ukuran kantong mahasiswa.
Namun ternyata kualitas gedung tidak berbanding lurus dengan kualitas acara. Puluhan juta dihabiskan hanya untuk menyukseskan perhelatan inaugurasi yang hanya memberikan kesenangan kepada mahasiswa bermental hedonis. Nuansa permisif dan sekuler yang sangat jauh dari nilai-nilai religius sangat terasa.
Tidak ada nuansa pergerakan dan perjuangan dalam inaugurasi. Padahal dua aspek tersebut adalah dua karakter dasar yang wajib ada dalam organisasi kemahasiswaan dan dijadikan ruh dalam setiap aksinya. Yang ada dalam inaugurasi adalah gelagat senior yang menertawakan junior akibat keluguannya melakukan adegan-adegan dalam parodi yang hampir ditemukan dalam setiap inaugurasi. Akihirnya terjadi pergeseran makna inaugurasi dari pengukuhan sebagai mahasiswa baru menjadi ajang sang junior menyenangkan hati seniornya.
Timbul pertanyaan dalam hati penulis dan mungkin beberapa civitas akademika, apakah para penggiat inaugurasi itu sadar bahwa ketika mereka tertawa terbahak-bahak menyaksikan tingkah sang junior yang begitu lucu, pada saat yang bersamaan ada jutaan tangis anak negeri yang putus sekolah akibat mahalnya biaya pendidikan? Apakah mereka yang terlarut dalam euforia semu malam inaugurasi tak pernah sedikitpun terlintas dalam hatinya gambaran tangis anak bangsa yang kehidupannya dari waktu ke waktu semakin melilit?
Sungguh ironis ditengah kondisi bangsa yang semakin parah, komunitas yang bernama “mahasiswa” justru menghambur-hamburkan uang puluhan juta rupiah untuk sebuah kegiatan yang sarat budaya hura-hura dan miskin nilai edukasi serta tidak mencerminkan adanya semangat perubahan.
Jika realitasnya seperti ini maka wajar saja jika perjuangan organ kemahasiswaan sampai detik ini masih jauh untuk dikatakan berhasil melakukan perubahan. Bagaimana mungkin mau mencetak generasi yang mempunyai naluri perubahan, jika dalam pengkaderan awalnya saja sudah diajarkan budaya hedonis, permisif, konsumtif dan kapitalis.
Sudah saatnya mahasiswa untuk melakukan perombakan total terhadap format pengkaderan yang ada saat ini dan seolah-olah telah menjadi doktrin sakral yang haram hukumnya untuk direvisi. Namun pertanyaannya, apakah kita akan terus mempertahankan dan mensakralkan format pengkaderan yang telah terbukti gagal melahirkan kader-kader intelek dan revolusioner yang haus akan ilmu serta rindu akan terwujudnya perubahan?
Organisasi kemahasiswaan saat ini (khususnya organisasi internal kampus) harus memilih langkah berani merombak alunan ritme pengkaderan yang sangat monoton. Langkah ini memang beresiko. Bahkan boleh jadi mengorbankan kultur organisasi yang telah lama dibangun oleh para sesepuh organisasi. Namun logika mahasiswa yang telah terformat sebagai agen perubah (agent of change) tentu tidak akan menerima untuk terus mempertahankan kultur organisasi yang justru mengkebiri potensi kader dan akan mengarahkan organisasi kemahasiswaan pada orientasi yang tidak jelas dan serba dilematis. Disatu sisi mahasiswa dengan segenap tenaganya membela kepentingan rakyat dan bangsanya namun disisi lain mereka menyelenggarakan berbagai prosesi pengkaderan yang kontraproduktif dengan semangat awal.
Membangun titian yang akan menuntun organisasi kemahasiswaan menuju format pengkaderan yang ideal sehingga mampu melahirkan kader-kader yang militan dan revolusioner adalah hal yang sangat mendesak dan harus segera dilakukan. Pertanyaannya sekarang adalah dari mana kita harus mulai? Jawabannya, langkah awal yang harus dilakukan adalah ideologisasi pergerakan mahasiswa.
Banyak organisasi kemahasiswaan sekarang yang bias/tidak jelas bahkan tidak memiliki ideologi pergerakan yang baku. Biasnya ideologi ini akan berdampak pada ketidakjelasan arah organisasi, mau kemana organisasinya diarahkan. Hal ini berimplikasi langsung terhadap kaburnya visi dan misi organisasi. Jika arahan organisasi saja masih kabur maka yakinlah format pengkaderan ideal yang akan dibentuk pun semakin tidak jelas. Karena bagaimana pun suatu organisasi kemahasiswaan akan memformat suatu mekanisme pengkaderan yang dapat mewujudkan jati diri kader yang mumpuni untuk tetap menjaga dan memperjuangkan visi dan misi organisasi.
Sebagai contoh suatu organisasi yang berbasis pada ideologi Islam tentu akan berusaha untuk melahirkan kader-kader yang terkristal dengan ideologi islam dan wajib memiliki pola pikir dan pola sikap yang Islami. Maka semua metode pengkaderan tentu akan diarahkan pada pembentukan jatidiri kader yang Islami.
Jika ideologi pergerakan telah jelas maka selanjutnya pola pengkaderan harus diorientasikan pada perubahan paradigma berpikir. Karena perubahan yang hakiki hanya akan terwujud jika telah terjadi perubahan pemikiran. Kalaupun ada perubahan yang tidak dilandasi oleh perubahan pemikiran maka perubahan tesebut semu belaka. Konsep inilah yang kurang dipahami oleh sebagian organisasi kemahasiswaan.
Standar keberhasilan pengkaderan yang diadopsi saat ini lebih berorientasi pada kuantitas dan kemegahannya. Pelaksanaan inaugurasi misalnya, walaupun telah menyimpang dari konsep dasar namun ketika jumlah massa yang hadir berjejal dan mampu memenuhi gedung maka inaugurasi dinilai sukses. Standar keberhasilan lainnya adalah jika penonton terutama senior mampu dibuat terhibur dan tertawa terbahak-bahak.
Namun apakah inaugurasi yang sarat akan aktivitas hura-hura itu mempu menjamin kualitas kadernya? Tentu saja tidak. Alih-alih melahirkan kader yang militan, revolusioner, dan rindu akan perubahan, justru melahirkan mahasiswa yang apatis dan menjadi penyakit baru untuk masyarakat.
Walaupun konsep inagurasi yang sering disuguhkan saat ini terbukti tidak menjamin lahirnya kader yang diharapkan dan telah terbukti gagal, namun masih saja banyak yang membela dengan berbagai alasan yang diselimuti kamuflase intelektual. Mulai dari alasan yang sangat minimalis seperti menjaga kultur lembaga sampai dengan alasan lucu untuk “mengkader adik-adik kita”.
Tak akan mungkin mahasiswa-mahasiswa unggul muncul dari perhelatan ala kaum kapitalis seperti inagurasi. Hanya satu sosok yang akan lahir dari inaugurasi dengan pola tersebut, yaitu sosok pelawak-pelawak instant yang mampu mengocok perut sang senior. Kalau sudah seperti ini, jadilah inaugurasi sebagai ajang audisi pelawak baru, sungguh ironis!

Catatan : dimuat di koran kampus identitas...
Tulisan ini untuk mereka yang mengagung-agungkan kultur lembaga, mereka yang telah menjadikan simbol2 lembaga sebagai sesembahan baru...hai kalian hanya Allah dan Islam yang patut dibanggakan bukan himpunan anda yang hanya berisi dengan ceceran puntung-puntung rokok dan lembaran kartu domino...

0 komentar:

Posting Komentar