Akhirnya Minggu dini hari (9 Nopember 2008) tiga terpidana mati kasus bom Bali harus meregang nyawa setelah melewati prosesi eksekusi mati oleh tiga regu tembak dari Brimob. Banyak pihak yang menyambutnya dengan ucap syukur namun tak sedikit yang membela, marah, bahkan akan mngancam melakukan balas dendam atas eksekusi mati Amrozi cs.
Apakah ini menyelesaikan masalah? Ternyata tidak. Karena dalang utama kasus terorisme sampai saat ini belum tersentuh hukum. Hal ini mampu menimbulkan bias opini dikalangan masyarakat sehingga mengidentikan Islam dengan terorisme. Ketika jejaring dan aktivitas terorisme kembali terbongkar kaum musliminlah yang menjadi pihak tertuduh. Hal ini disebabkan kesalahpahaman orang karena menilai Islam dari sepak terjang penganutnya. Padahal sejatinya Islam adalah agama yang penuh dengan kasih sayang dan anti kekerasan.

Mencuatnya isu terorisme tidak bisa hanya dipandang dalam konteks keindonesiaan semata. Karena isu terorisme yang dimotori oleh Amerika Serikat (AS) pasca runtuhnya gedung kembar WTC, adalah propaganda skala internasional yang sejatinya ditujukan untuk memberangus gerakan Islam khususnya gerakan Islam yang dianggap oleh AS akan mengancam eksistensi dirinya.
Jika ditelaah secara kritis ada grand strategy (strategi besar) yang sengaja disusun dengan rapi dibalik isu terorisme ini. Tujuan utamanya adalah mencitraburukkan Islam sebagai agama barbarian yang tidak manusiawi serta mengajarkan kekerasan kepada umatnya. Hasil akhir yang diharapkan adalah munculnya sentimen negarif dunia internasional kepada Islam dan yang lebih membahayakan lagi adalah memunculkan “islamphobia” (rasa takut kepada Islam) dikalangan kaum muslimin. Bisa dibayangkan kehancuran yang akan terjadi jika umat Islam sudah menunjukkan sikap antipati dan takut kepada agamanya sendiri.
Semua kekhawatiran ini bukanlah tanpa bukti. Sekitar tiga tahun yang lalu (Oktober 2005) pasca teror bom Bali, pemerintah langsung memerintahkan untuk mengawasi sebagian pesantren dan menganjurkan pengawasan terhadap para khatib. Sadar atau tidak langkah tersebut bukan menyelesaikan masalah, justru semakin memperkeruh suasana, karena memunculkan kecurigaan sesama muslim, menimbulkan keraguan umat kepada sebagian ulama dan lembaga pendidikan Islam.
Dalam skala internasional misalnya, pelaku terorisme selalu dialamatkan kepada gerakan Islam. Buktinya lebih dari 90% daftar Foreign Terorist Organization (FTO) adalah individu dan kelompok muslim. Didalamnya justru tidak terdapat nama-nama orang atau organisasi yang sudah terkenal sebagai teroris tulen. Misalnya teroris ekstrimis Irlandia Utara, kelompok separatis Basque ETA dan organisasi 17 November di Yunani.
Fakta lain, ketika kita menyaksikan penampilan para pelaku terorisme, mereka mengenakan baju koko, berjanggut dan ada tanda hitam di dahinya, serta berbendera hitam bertulisakan La ilaha illa Allah. Ditambah lagi saat media mewawancarai istri pelaku bom Bali terdapat kesamaan dalam penampilan mereka yaitu menggunakan jilbab hitam dan wajah mereka ditutup dengan cadar dan kebanyakan pelaku pemboman adalah lulusan pesantren. Pengopinian fakta ini akan mampu menggiring opini masyarakat bahwa terorisme identik dengan simbol-simbol Islam.
Hal ini membuktikan umat Islam, ternyata telah terjerumus pada kesimpulan yang prematur karena telah menyimpulkan sesuatu yang berbasis pada karakteristik pelaku. Karena besar kemungkinan pelaku teror bom sebenarnya adalah orang yang sengaja direkrut untuk dikorbankan. Mereka digembleng melalui pembinaan yang instant dan ditanamkan pada dirinya bahwa aktivitas yang dilakukannya merupakan bentuk amal shalih dan wujud perjuangan menegakkan agama Allah. Bahaya, jika aktivis Islam hanya dibekali semangat semata, tanpa dibekali metode dakwah Islam yang sangat anti kekerasan.
Logika seperti ini terus digunakan menganalisis setiap kali ada kasus terorisme yang muncul. Seharusnya pemerintah dan jajaran aparat keamanan yang terkait mulai mengubah paradigma penyelidikannya yaitu dengan berusaha mengungkap pihak-pihak mana saja yang mendapat keuntungan besar dalam berbagai peristiwa terorisme. Dengan begitu akan terkuak siapa sebenarnya dalang dibalik semua aksi teror yang terjadi. Karena jika hanya pelaku teknis (operator) seperti Amrozi, Imam Samudera, dan Mukhlas yang di eksekusi mati maka tidak akan menyelesaikan masalah.
Propaganda terorisme yang selalu disandingkan dengan Islam dan jihad, telah mampu menarik kaum muslimin pada kutub muslim moderat, padahal dalam Islam tidak dikenal adanya pengelompokan Islam moderat dan Islam radikal. Pengkategorian adalah bagian dari skenario untuk memecah belah umat Islam. Muslim meoderat diidentikkan dengan muslim yang mau berkompromi dan sejalan dengan nilai-nilai barat. Sementara muslim radikal dilukiskan dengan sosok muslim yang menolak mengkompromikan Islam dengan nilai-nilai barat dan menuntut penerapan syariat Islam, termasuk didalamnya adalah kelompok yang melakukan aksi teror.
Klasifikasi seperti ini berpotensi mematikan semangat disebagian kaum muslimin untuk menegakkan Islam secara kaffah. Misalnya beberapa kalangan yang dianggap sebagai Islam moderat mulai membatasi pemikiran-pemikiran Islam yang tidak sesuai dengan nilai barat dan mulai melakukan kompromi antara pemikiran Islam dan pemikiran barat yang sekuler, walaupun harus dipaksakan dan merekayasa dalil Quran agar sejalan dan mendukung pendapatnya. Meskipun secara fisik kaum muslimin tidak melakukan perlawanan namun mereka mulai khawatir akan dikategorikan sebagai muslim radikal yang berpotensi manjadi muslim teroris.
Walhasil bisa saja individu atau kelompok yang mengkampanyekan syariat Islam akan dianggap sebagai kelompok radikal, walaupun mereka melakukan aktivitasnya dengan damai tanpa kekerasan. Pasalnya secara diametral konsep syariat Islam bertentangan dengan nilai barat yang sekuler.
Citra buruk yang dialamatkan kepada umat Islam yang ikhlas memperjuangkan agamanya adalah cara yang paling ampuh untuk membendung propaganda penegakan syariat Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam, yang dari waktu ke waktu semakin menggema.
Selanjutnya pencitraburukan Islam melalui isu terorisme adalah untuk mengaburkan makna jihad. Misalnya setelah para tersangka pelaku peledakan bom mengungkapkan banwa jihad-lah yang menjadi alasan mereka melakukan aksinya. Maka muncullah pembelaan terhadap jihad dengan mengembalikan jihad pada makna bahasa yang bersifat umum yaitu bersungguh-sungguh.
Seharusnya kaum muslimin menentang pengertian jihad yang selalu diidentikkan dengan terorisme. Karena memang antara jihad dan terorisme tidak ada hubungannya dan mengandung pengertian yang sangat berbeda. Namun kaum muslimin jangan larut dalam rekayasa yang ingin mengaburkan makna jihad. Karena tidak kurang dari 24 kata jihad yang digunakan dalam Quran yang semuanya mengindikasikan bahwa jihad adalah aktifitas perang di jalan Allah, dengan tujuan untuk melawan semua bentuk kedzaliman yang menyengsarakan manusia (baik muslim maupun non muslim), meninggikan kalimat Allah, dan menyelamatkan dunia. Sangat berbeda dengan aktivitas terorisme yang justru menghadrikan ketakutan, menyengsarakan manusia dan menghancurkan dunia.
Permasalahan terorisme akan mampu diselesaikan jika ada keadilan dari pihak pemerintah Indonesia dan dunia internasional. Saat ini terasa sangat kental adanya inkonsistensi dalam penanganan masalah teroris internasional. Jika Amrozi, Imam Samudra, dan Mukhlas dipidana dengan hukuman terberat yaitu hukuman mati dan diberi gelar sebagai teroris, karena telah membom hotel di Bali dan menewaskan sekitar 200 orang, maka kira-kira hukuman apa yang pantas diberikan kepada seorang Geroge Bush yang telah meluluhlantahkan Palestina dan menewaskan sekitar 650 ribu warga sipil tak berdosa? Dan julukan apa yang pantas diberikan kepadanya?

Catatan : Dimuat di Koran Tribun Timur Makassar

0 komentar:

Posting Komentar