Demokrasi, seolah telah menjadi dogma suci yang pantang untuk ditentang. Siapapun yang berani menentang, berarti harus rela diposisikan sebagai seorang ekstrimis. Jika ia seorang muslim maka bersiaplah untuk menyandang gelar sebagai seorang muslim fundamentalis yang berpikir radikal dan konon kabarnya akan mangancam kesatuan bangsa.

Bahkan untuk menjaga eksistensi demokrasi di negeri ini, pemerintah pun ikhlas menggelontorkan dana sampai puluhan triliun rupiah untuk menyelenggarakan berbagai ritual bertajuk pesta demokrasi. Mulai dari tingkat kecamatan dengan pemilihan camatnya, bahkan sebuah pesta akbar demokrasi untuk memilih orang nomor satu di Indonesia pun telah siap digelar awal bulan September nanti.
Namun apakah praktek demokrasi telah seindah janji-janjinya? Ataukah demokrasi hanyalah seonggok konsep panjajahan baru yang coba ditancapkan oleh negara imperialis ditanah air negara-negara dunia ketiga yang mayorotas dihuni oleh rumpun negeri-negeri kaum muslimin.
Sebenarnya baik-tidaknya demokrasi, tergantung dari kacamata apa kita memandang. Jika memandangnya menggunakan ideology sekularisme, yang mendasarkan pemahamannya pada pemisahan antara agama dengan kehidupan, tentu demokrasi akan tampil sebagai dewa keberuntungan yang akan membawa kemaslahatan kepada masyarakat dunia.
Apresiasi yang jelas berbeda jika demokrasi dipandang dalam perspektif Islam. Walaupun ada segelintir intelektual muslim yang memaksa agar demokrasi mampu dikompromikan dengan Islam. Untuk lebih meyakinkan umat bahwa demokrasi tidak bertentangan dengan Islam, diplintirlah dalil Al-Quran dan hadits Rasulullah saw.
Sebenarnya jika kita kritis menilai, menyatukan antara Islam dan demokrasi bagai mencampur air dan minyak, mustahil untuk bersatu. Karena dalam beberapa hal yang mendasar, Islam dan demokrasi sangatlah berbeda. Meskipun dalam beberapa konsep cabang ada kesamaan antara demokrasi dan Islam. Namun adalah kesimpulan yang gegabah jika menganggap Islam mengakui demokrasi hanya melihat ada kesamaan pada konsep-konsep cabang.
Penerapan konsep demokrasi akan membawa konsekuensi logis, termarjinalkannya syariat Islam. Dalam melahirkan sistem hukum dan perundang-undangan misalnya, demokrasi jelas tidak akan menjadikan Al-Quran dan sunah sebagai satu-satunya sumber hukum. Contoh nyata dalam pengesahan undang-undang pornografi tidak digali oleh parlemen dari hukum Islam, namun manjadikan pendapat seniman, artis, budayawan, aktivis feminisme, sebagai rujukannya. Jika ingin melahirkan perundang-undangan yang mumpuni untuk dikatakan demokratis, maka peraturan tersebut harus mengakomodasi kemauan seluruh kalangan. Namun kenyataannya demokrasi tak seindah warna aslinya. Selau ada saja elemen masyarakat yang dikorbankan dan tidak terakomodasi kemauannya. Dan ironisnya kaum muslimin –khususnya yang ikhlas memperjuangkan syariat Islam- selalu menjadi komunitas yang terpaksa gigit jari akibat dipecundangi oleh demokrasi.
Sementara dalam Islam sumber hukum hanya Al-Quran dan sunah. Manusia dalam menggali hukum harus sesuai dengan koridor syara’. Kemauan manusia akan diakomodasi jika sesuai dengan syariat Islam dan ditolak jika bertentangan dengan syariat Islam. Syariat Islam secara empiris, historis, dan normatif telah mampu tampil sebagai satu-satunya sistem yang mampu secara gemilang menyelesaikan berbagai macam problematika hidup.
Perbedaan mendasar lainnya adalah konsep kedaulatan. Demokrasi menjunjung tinggi suatu konsep yang meletakkan kedaulatan ditangan rakyat. Artinya rakyat memiliki hak prerogatif penuh untuk menentukan mana aturan yang baik dan buruk untuk dirinya. Konsep seperti ini sangat berbahaya, karena memberikan kesempatan kepada manusia untuk membuat kebijakan yang sesuai dengan kepentingannya dan berpeluang besar merugikan kepentingan orang lain.
Substansi konsep seperti ini terbukti telah melahirkan pemerintahan yang diktator pada masa kegelapan Eropa. Pada masa itu raja mengklaim dirinya sebagai wakil Tuhan di muka bumi. Muncullah dogma yang menganggap perintah raja adalah perintah Tuhan. Persis sama dengan apa yang terjadi dalam sistem demokrasi. Ketika parlemen mengklaim bahwa mereka adalah penjelmaan dari rakyat dan telah diberi kewenangan membuat hukum, jadilah parlemen membuat kebijakan yang sejalan dengan kepentingannya. Dan tentu kepentingan yang ada sarat dengan pesanan para pemilik modal (kaum kapital). Tengok saja berbagai undang-undang hasil karya Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang lebih memihak kepada pemilik modal ketimbang berpihak kepada rakyat.
Sangat berbeda dengan Islam, yang menjadikan satu-satunya pemegang kedaulatan adalah Allah swt., yang terejawantahakan dalam Al-Quran dan sunah. Hal ini selaras dengan firman Allah dalam Q.S. Al-An’am ayat 57 :
“Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan kebenaran dan Pemberi keputusan yang terbaik.”
Manusia harus memposisikan diri sebagai hamba Allah yang lemah dengan segala keterbatasannya, sehingga ketaatan kepada aturan Allah adalah suatu keniscayaan. Perintah seorang pemimpin (khalifah) kepala negara tidak mutlak menjadi perintah Tuhan. Khalifah dalam kebijakannya pun harus tunduk pada ketentuan Al-Quran dan sunah. Kalau perintah seorang khlifah menyimpang dari sumber hukum, maka tidak ada ketaatan padanya.
Untuk lebih meyakinkan umat manusia (khususnya umat Islam) agar mau menjadikan demokrasi sebagai sistem hidupnya atau minimal tidak menentang, maka demokrasi mencoba memoles dirinya dengan jargon jaminan atas kebebasan umum. Janji adanya kebebasan jelas tidak dapat dipisahkan dari demokrasi.
Namun ide kebebasan yang diusung oleh demokrasi sangat berbeda dengan kebebasan dalam perspektif Islam. Dalam Islam manusia tidak manusia tidak memiliki kebebasan mutlak. Setiap aktivitas manusia dibatasi oleh aturan Islam. Namun dalam demokrasi kebebasan dijunjung tinggi dan mendapat legitimasi mutlak sesuai dengan perspektif manusia.
Misalnya kebebasan beragama. Dalam pandangan sistem demokrasi seseorang berhak meyakini suatu agama yang dikehendakinya tanpa adanya paksaan. Dia pun berhak berpindah agama sekehendak hatinya. Atau bahkan membuat agama baru, jika agama yang ada dianggap tidak mengakomodasi kebutuhannya.
Konsep ini jelas berbeda dengan Islam. Memang, dalam Islam tidak ada paksaan dalam memeluk agama Islam. Ini diserahkan sepenuhnya kepada individu masing-masing, mau memuluk Islam atau agama yang lain (Q.S. Al-Baqarah : 256). Namun ketentuan ini tidak berlaku tatkala seseorang telah beragama Islam. Ketika seseorang telah mengikrarkan diri sebagai muslim maka ia wajib untuk tunduk dan patuh pada syariah dan aturan Allah, termasuk di dalamnya keharaman untuk keluar dari Islam (murtad). Ini adalah suatu bukti bahwa Islam begitu menjaga kesucian agama. Sehingga melarang umatnya untuk keluar masuk agama, sekaligus melarang membuat agama baru.
Fakta lain misalnya dalam konsep kebebasan mengeluarkan pendepat. Dalam demokrasi hal ini sangat dijamin. Bahkan jaminan kebebasan berpendapat menjadi salah satu ciri utama negara demokratis. Setiap individu dijamin kebebasannya untuk mengeluarkan pendapat apaun dan bagaimanapun bentuknya. Maka wajar ketika koran Denmark Jaylland Posten mendapat protes dari kaum muslimin dunia akibat memuat karikatur Rasulullah saw, mereka kemudian berlindung dibalik tabir kebebasan berekspresi.
Jadi Islam dan demokrasi jelas sangat bertentangan dan tak mungkin dipadukan. Usaha untuk mempercantik citra demokrasi dimata umat Islam adalah suatu kamuflase agar umat Islam mau menerima demokrasi dan secara perlahan-lahan menanggalkan Islam sebagai aturan hidup yang suci. Ketika umat Islam telah mengakomodasi nilai-nilai demokrasi maka hegemoni negera imperialis terhadap dunia Islam akan semikin kokoh. Inilah sebenarnya yang menjadi tujuan dari digalakannya demokratisasi di negeri-negeri kaum muslimin. Oleh karena itu, berhati-hatilah wahai kaum muslimin.



0 komentar:

Posting Komentar