Selaksa asa menggelayut dihati ketika ku tapakkan kaki ini di tempat yang tak pernah ku kenal sebelumnya. Tempat yang berhambur sinar mentari dan jalan berbatu. Seskali senyuman bukit-bukit kecil dan kicauan burung-burung aneh disepinya malam, sering hadir tanpa diundang. Tampaknya mereka semualah yang akan menjadi temanku selama dua purnama. Ehm…untaian waktu yang cukup panjang, namun harus dilalui untuk sebuah formalitas akademik.
Kegalauaan semakin membuncah ketika senandung panggilan Allah Tuhan seru sekalian alam, mencoba untuk kugubris namun tak berhasil. Terpaksa kening ini merapat tuk sujud di hadapan-Mu ditempat yang tak semestinya. Seharusnya kening ini bersujud di altar lantai rumah Allah bukan dilantai rumah kosong tak berpenghuni.

Jika kegalauaan sampai pada titik nadir, maka ia akan merangsang kaki ini tuk mencari dimana sebanarnya rumah Allah itu berada. Ternyata bukan cuma sanubari ini yang merasakan kegalauan itu, ada empat insan manusia yang juga merasakan dan mencoba menyibak tabir kegalauan hatinya.
Sepuluh terompah modern, diatas lima jasad berjalan menelusuri jalan berbatu, berkelok, dan sering diringi irama gonggongan anjing. Hati mulai bertanya, bibir mulai mengeluh. Sudah terlalu jauh kaki ini melangkah namun rumah Allah tak kunjung terlihat. Alhamdulillah rayuan malaikat masih lebih kuat dari pada rayuan setan yang penuh dengan tipu muslihat. Asa ini tak boleh putus, kecuali jasad telah meregang nyawa. Itu adalah prinsip dasar yang harus terpatri dalam setiap pejuang dan dengan bangga aku katakan kami adalah para pejuang.
Dari kejauhan kulihat sebuah kubah yang tak asing. Warnanya tak lagi perak namun telah berubah menjadi coklat tua pertanda korosi yang akut telah terjadi padanya. Dua kuseng pintu yang sudah tak kokoh lagi menyiratkan pesan bahwa usia masjid ini tidaklah muda.
Tak ada sajian pemandangan yang istimewa dari masjid ini. Biasa-biasa saja, itulah penghargaan tertinggi yang bisa ku berikan untuk masjid tak bernaman ini. Bahkan jika mau jujur, perasaan prihatinlah yang menggelayut dalam hati. Bayangkan saja jendela-jendala kaca yang seharusnya cemerlang bak cermin, dipenuhi dengan debu-debu beterbangan. Lantainya tak selicin yang ku bayangkan, butiran pasir kecil terasa menggelitik telapak kaki.
Ya masjid tua yang semakin rapuh. Aku lebih terkejut lagi ketika melihat shaf shalat yang kosong, hanya ada seorang disana yang duduk seolah menanti sesuatu yang tak pasti. Badannya sudah tak tegap lagi, kulitnya sudah tak kencang lagi. Rambut tipis beruban yang ditutupi kopiah putih lusuh membuatku dapat menebak telah berapa lama ia berdiri tegar di atas bumi ini.
Tak perlu ku uraikan panjang, namanya Haji Coppeng…sosok yang telah menjadi inspiratorku dan mungkin beberapa sahabatku yang lain. Di usianya yang semakin senja, ia masih mampu melangkahkan kakinya dan berusaha memakmurkan masjid. Entah apakah diri ini masih mampu memakmurkan masjid disaat rambut tak lagi hitam, saat mata mulai rabun. Namun sosok ini telah memberiku pelajaran, bahwa usia boleh tua namun semangat tak boleh pudar.
Entah berapa banyak pahala yang telah masuk dalam pundi-pundi amalnya. Bayangkan saja, merangkap tiga aktivitas dalam setiap waktu shalat. Sebagai seorang muadzin, mengumandangkan adzan pertanda waktu shalat telah masuk. Selang beberapa menit mengumandangkan iqomah. Dan menyempurnakannya dengan tampil sebagai imam sang pemimpin shalat. Ia tak tamak, Ia sebenarnya ingin berbagi, namun sayang tak ada tempat untuk berbagi karena hanya ia seorang sang pemakmur rumah Allah.
Pelajaran berharga, jangan pernah putus asa walaupun hanya seorang. Jika memang tak ada yang mau menemanimu dalam perjuangan nan indah ini, maka lanjutkan…Allah tidak buta dan pasti akan menurunkan pertolongannya. Sekali layar terkembang, pantang biduk surut ke tepian. Sekali kaki ini melangkah tak ada kata mundur sebelum Islam menang, kaum muslimin mulia atau aku gugur sebagai syuhada.
Engkau begitu jauh dari mereka golongan priayi karena memang engkau lebih layak masuk dalam komunitas kyai. Mereka sering bergumul dan bercerita tentang kemajuan desa yang mereka pimpin dengan sejuta prestasinya, namun mereka tak pernah memperhitungkanmu padahal boleh jadi hamparan sukun masih boleh menghijau karena Allah masih mendengar senandung azanmu, bisa jadi rumpun tebu yang engkau berikan kepada kami diakhir sua kita masih ingin tumbuh karena senandung doa mu…namun sedikit yang menyadari itu…

Haji Pattani….haji Coppeng…teruslah berjuang walau hanya seorang ditengah tumpuan kaki yang tak begitu kekar lagi…ditengah lentingan suara yang sudah mulai parauh…

(Tenri Pakkua 10 Juli – 24 Agustus 2009)



0 komentar:

Posting Komentar