Selasa, 29 September 2009

Hukum Nonton Bioskop

‘Bioskop’ adalah adaptasi bahasa Indonesia terhadap kata ‘bioscope’ dari Afrika Selatan (kemungkinan juga dari Belanda). Pada awalnya film di bioskop adalah rangkaian gambar bergerak yang berdurasi pendek, bisu, dan diputar di lapangan atau ruangan/hall. Genre yang diusung biasanya adalah seni drama, komedi slapstick (bodoh-bodohan, seperti Caplin), sulap, dan percintaan.

Film-film pendek tersebut pada awalnya memang merupakan sarana hiburan bagi warga Barat sebagai pengganti pertunjukan langsung. Pada pertunjukan langsung, durasi pertunjukan memang bisa lebih lama, namun frekuensinya terbatas. Dengan bantuan teknologi film, frekuensi pertunjukan dapat ditingkatkan puluhan kali lipat, kostum dan panggung dapat dihemat, untung bagi para pengusaha film dan bioskop pun meningkat pesat. Para pengambil untung tersebut, kata Henry Ford, didominasi oleh kalangan Yahudi (The International Jews, 1922).

Antara tahun 1900 dan 1914, durasi pertunjukan dinaikkan menjadi hingga dua jam, dan setelah Perang Dunia I produksi film dunia dipusatkan di Hollywood, California. Film pun menjadi memiliki suara pada akhir tahun 1920an, dan berwarna (Technicolor) pada tahun 1930an. Maka berduyun-duyunlah manusia ke bioskop dan teater, hanya sekedar melepaskan penat.

Hukum Menonton Bioskop

Film bioskop sebagai citraan gambar bergerak di dalam seluloida (asetat) yang diperbesar melalui proyeksi cahaya intensitas tinggi pada sebuah layar lebar. Layar lebar adalah benda yang mubah (begitupun yang memiliki format digital). Apapun jenis dan kategori film itu. Sebab, hukum asal dari semua benda adalah mubah selama tidak ada dalil yang melarangnya (mengharamkannya). Selain itu, saya juga meng-qiyaskan film ini dengan film di tustel kamera.

Sementara itu hukum membuat film dan menonton film adalah perkara yang berbeda. Membuat film dan menonton film adalah aktivitas, dan kaidah syariat Islam untuk masalah aktivitas adalah ‘hukum asal dari perbuatan manusia adalah terikat dengan hukum syariat.’ Jadi, harus diinferensi terlebih dahulu berdasarkan empat sumber hukum Islam yang ada.

Membuat film, harus jelas agendanya. Agenda tersebut antara lain, pertama adalah tujuan pembuatan film. Tujuan pembuatan film tidak boleh bertentangan dengan Islam (seperti film ‘Fitna’-nya Wilders). Mengambil keuntungan sembari menghibur (bukan berarti melenakan), sebagaimana penjelasan kebanyakan sineas, saya rasa adalah tujuan yang diperbolehkan dalam pembuatan film.

Hal kedua yang perlu diperhatikan keterikatannya dengan Syariat adalah, formasi penyusun naskah, penulis skrip, tipe adegan, dan pemain film. Jika naskah yang disusun memuat adanya scene pelacuran ataulah bar, skrip berisi kata-kata yang tidak pantas diucapkan seperti umpatan serapah, ada adegan membuka aurat atau berciuman (apalagi mengingat pemain film tidak semahram), tentu film seperti ini diharamkan untuk membuatnya. Saya pikir, sineas yang kreatif dapat membuat film berkualitas tanpa harus melanggar Syariat. Dedi Mizwar dkk. rasanya sudah mendekati kualitas ini.

Adapun hukum menonton film di bioskop adalah perkara lain. Kita cermati terlebih dulu apa yang dilakukan oleh orang yang menonton bioskop. Bioskop merupakan tempat pertemuan yang semua orangnya menghadap layar proyeksi. Baik itu di bioskop maupun di kelas, atau di musholla, selama ada film yang diproyeksikan untuk ditonton bersama dalam satu ruang bersama, dan ada syarat untuk membayar tiket masuk, maka kita dapat menyebutnya bioskop.

Nah, manakala banyak orang berkumpul untuk melakukan aktivitas, harus dilihat terlebih dahulu kategori ruang berkumpulnya. Apakah ruang publik ataukah ruang privat. Menurut an-Nabhani, di dalam ruang publik hukum asal pertemuan laki-laki dan perempuan non-mahram adalah haram, kecuali untuk tiga perkara. Yakni, perkara pendidikan, perkara kesehatan, dan perkara muamalah (seperti jual beli, kontrak dagang, jasa naik angkot, silaturahmi). Meski diperbolehkan di dalam tiga perkara, perempuan- dan laki-laki non-mahram tetap terikat aturan seperti tidak boleh berkhalwat dan berikhtilat.

Khalwat adalah aktivitas ‘interaksi’ di antara dua orang di mana orang lain tidak akan dapat masuk ke dalam pembicaraan dua orang tersebut, baik itu dilakukan di ruang publik ataupun ruang privat. Sedangkan ikhtilat adalah ‘interaksi’ laki-laki dan perempuan secara campur baur (tidak dipisah/dihijab) untuk selain tiga perkara di atas.

Kita telah mengetahui bahwa bioskop adalah tempat pertemuan di antara sidang penonton, yang merupakan ruang privat yang dijadikan ‘milik’ publik manakala ada orang yang mau membayar untuk masuk (disewakan). Persis dengan bis kota, kereta api, dan semisalnya. Dapat diputuskan untuk menghukumi bioskop sebagai ruang publik terbatas. Ruang publik karena semua orang boleh masuk, disebut terbatas karena adanya syarat membayar untuk masuk . Hukum-hukum mengenai aktivitas di dalamnya terkait dengan hukum ruang publik, contohnya seorang muslimah harus menutup auratnya secara sempurna, dll. Hal yang sama berlaku terhadap rumah seseorang, yang merupakan ruang privat, di mana ketika orang lain diberikan ijin untuk masuk maka ia dapat menjadi ruang publik.

Lalu, aktivitas apa yang dilakukan oleh orang-orang di dalam bioskop. Mereka biasanya duduk tenang, sesuai nomor (tanpa pemisahan/hijab), melihat ke layar, menikmati sajian tontonan baik dengan serius atau mengemil. Selesai film diputar, mereka akan keluar dari ruangan dan selesailah aktivitasnya. Jika demikian saja yang terjadi, maka di dalam ruangan tersebut tidak terjadi ‘interaksi’ antar makhluk hidup yang dibebani hukum sama sekali. Yang terjadi adalah interaksi antara manusia dan benda. Seperti halnya kita membaca artikel di depan layar komputer secara bersama-sama. Ini membantah pandangan sebagian pihak yang memandang bahwa aktivitas menonton bioskop adalah aktivitas khalwat dan ikhtilat.

Dalam tataran ini, hukum menonton bioskop adalah mubah. Dari segi lain, seperti dari jenis film yang ditonton, film yang dimubahkan untuk dilihat hanya jenis film dalam dua perkara saja, yakni film yang ditujukan untuk pendidikan dan kesehatan serta ditonton orang untuk pendidikan dan kesehatan. Aspek hiburan adalah aspek sampingan yang selalu dimasukkan untuk pendidikan, dan merupakan satu aspek penting dalam hal kesehatan (seperti menghilangkan kepenatan dan kejenuhan).

Film-film seperti film percintaan boleh ditonton untuk tujuan pendidikan, namun tidak boleh ditonton untuk tujuan percintaan. Film drama percintaan boleh juga ditonton di dalam ruang privat oleh laki-laki dan perempuan yang semahram, atau ditonton secara berkhalwat oleh laki-laki dan perempuan yang telah menikah (suami-istri tetaplah non-mahram). Bila film romansa ditonton di ruang privat oleh laki-laki dan perempuan yang non-mahram dalam kondisi khalwat (seperti sepasang kekasih), maka jelas-jelas diharamkan dari segi interaksi khalwatnya.

Faktanya

Tetapi sangat disayangkan, tidak selamanya yang terjadi di bioskop adalah seperti tuturan di atas. Ternyata, di bioskop, sebagian besar aktivitas yang dilakukan adalah aktivitas interaksi antar manusia. Sebab, yang datang ke bioskop sebagian besar tidaklah sendiri-sendiri, tetapi berbondong-bondong, bahkan berdua-dua-an. Mereka pun tidak duduk tenang dan menonton. Tidak jarang mereka saling menyeletuk, berujar, dan beradu pendapat.Bahkan tidak jarang ada yang meraba tangan, berciuman, hingga (maaf) meraba dada dan petting. Inilah realitas yang ada.

Dalam kondisi ini, jelas-jelas menonton bioskop adalah haram. Dilema pun harus dihadapi oleh orang-orang lurus yang datang ke bioskop secara sendiri-sendiri atau bersama-sama keluarga, di mana mereka ‘terpaksa’ satu ruangan dengan orang-orang yang menonton bioskop untuk berikhtilat dan berkhalwat (untuk melakukan perbuatan nista).

Oleh karena alasan inilah, kemudian banyak orang yang mengharamkan aktivitas menonton bioskop (over-generalisasi). Saya sendiri masih belum tahu hukum yang lebih jelas mengenai hal ini, namun saya menghimbau untuk sebisa mungkin menghindari menonton bioskop (kecuali untuk film-film tertentu seperti Power Ranger (yang non-BF), dkk.). Banyak-banyaklah melakukan aktivitas lain yang lebih positif dan berpahala. Jikalau pun kita penat, masih banyak aktivitas pelepas kejenuhan yang berpahala, seperti olah raga, membaca Qur’an, mengikuti pengajian umum, menulis buku harian/blog, bertamasya-tadabbur (rihlah), atau malah bermesraan dengan suami/istri.

Konspirasi dan Kapitalisme

Muncullah di benak saya, bahwa sebenarnya kehadiran film-film percintaan, bahkan hingga sekaliber AAC, sebenarnya hanya bertujuan untuk mengambil untung saja. Niatan dari sineas untuk menyampaikan pesan (baik pesan yang benar atau malah pesan yang salah, menurut Islam) memang ada, namun seringkali pesan yang benar, tidak dapat dicerap seutuhnya oleh penikmat film. Terlebih setelah film tersebut kelar dan keluar, banyak slentingan negatif untuk menetralisir pesan positif tersebut. Bahkan jika bisa, pesannya diubah melalui konstruksi media massa lainnya.

Jika demikian, lantas apakah yang membuat para sineas tertarik untuk membuat film dengan setting percintaan? Jawab saya: Apalagi jika bukan karena realitas bioskop dan pasarnya yang pasti?!

Dalam piramida penduduk Indonesia, jumlah remaja Indonesia dengan usia 11-29 tahun sangatlah besar dibanding usia lainnya. Mereka adalah segmen penduduk Indonesia yang mencari jati diri, seringkali memiliki uang, jika tidak punya uang mereka akan mati-matian membanting tulang mencarinya. Sementara itu, uang tersebut cenderung dipergunakan untuk mencari kesenangan dan cinta.

Remaja Indonesia yang berpacaran dan mencari-curi cinta sangatlah banyak (naudzubillah min dzalik), dan mereka adalah pasar yang potensial untuk digarap. Muncullah bisnis-bisnis yang bertujuan untuk memfasilitasi aktivitas percintaan tersebut. Mulai dari bisnis coklat, boneka, asesoris, warung dan kafe, diskotik, bioskop, dll.

Saya masih ingat waktu dulu masih duduk di SMP dan SMA favorit sebuah kota kecil di Jawa Timur. Teman-teman yang pacaran selalu memiliki agenda tetap di hari sabtu (malam-minggu). Kencan dan Bioskop! Sebelum atau setelah dari bioskop mereka akan berdua-dua-an sambil makan malam. Yang belum pacaran pun kadang juga memiliki jadwal ke bioskop, yakni pada hari senin, hari berlakunya paket hemat

Kalaupun tidak ke bioskop, mereka yang pacaran selalu mencari tempat untuk bisa berkencan dan memadu kasih (yang ilegal itu). Yang belum pacaran pun mencari tempat-tempat yang melenakan untuk bersenang-senang (hedon), sembari ‘nyosor,’ “Siapa tahu dapat gebetan!” ujar mereka.

Saya kemudian teringat tante saya yang masih belum menikah. Maaf jika agak melenceng. Beberapa minggu lalu ia bercerita bahwa ia kelar nonton konsernya Skid Row di Ancol. Dia ada di barisan terdepan konser tersebut. Beberapa tayangan infotainment mengonfirmasi keberadaan tante saya di konser tersebut (maksudnya dia ikut kena shoot waktu konser Skid Row diberitakan).

Tante saya yang memang nge-fans dengan musik slow rock tidak merasa kehilangan, meski telah merogoh kocek 150.000 (belum bensinnya, makannya). Mengapa? Karena, stresnya hilang, penatnya hapus, jenuhnya musnah.

Saya hanya bisa tertawa di dalam hati. Menghilangkan stres kok sampai harus mengeluarkan uang ratusan ribu. Itupun untuk memberi uang kepada orang-orang yang melakukan maksiat. Padahal jika saja uang itu dibelikan makanan bergizi plus multivitamin, stressnya bisa hilang juga, sisa uangnya pun masih bisa disedekahkan kepada saya Tapi itulah dampak dari ketergantungan terhadap produk pelenaan kapitalisme. Bioskop juga demikian adanya.

Ini, bagi saya, jelas-jelas pemiskinan kantong negara, kantong orang tua, dan depresiasi mental remaja, pemuda, dan warga Indonesia secara sistematis.


0 komentar:

Posting Komentar