Selasa, 29 September 2009

Hukum Nonton Bioskop

‘Bioskop’ adalah adaptasi bahasa Indonesia terhadap kata ‘bioscope’ dari Afrika Selatan (kemungkinan juga dari Belanda). Pada awalnya film di bioskop adalah rangkaian gambar bergerak yang berdurasi pendek, bisu, dan diputar di lapangan atau ruangan/hall. Genre yang diusung biasanya adalah seni drama, komedi slapstick (bodoh-bodohan, seperti Caplin), sulap, dan percintaan.

Film-film pendek tersebut pada awalnya memang merupakan sarana hiburan bagi warga Barat sebagai pengganti pertunjukan langsung. Pada pertunjukan langsung, durasi pertunjukan memang bisa lebih lama, namun frekuensinya terbatas. Dengan bantuan teknologi film, frekuensi pertunjukan dapat ditingkatkan puluhan kali lipat, kostum dan panggung dapat dihemat, untung bagi para pengusaha film dan bioskop pun meningkat pesat. Para pengambil untung tersebut, kata Henry Ford, didominasi oleh kalangan Yahudi (The International Jews, 1922).

Antara tahun 1900 dan 1914, durasi pertunjukan dinaikkan menjadi hingga dua jam, dan setelah Perang Dunia I produksi film dunia dipusatkan di Hollywood, California. Film pun menjadi memiliki suara pada akhir tahun 1920an, dan berwarna (Technicolor) pada tahun 1930an. Maka berduyun-duyunlah manusia ke bioskop dan teater, hanya sekedar melepaskan penat.

Hukum Menonton Bioskop

Film bioskop sebagai citraan gambar bergerak di dalam seluloida (asetat) yang diperbesar melalui proyeksi cahaya intensitas tinggi pada sebuah layar lebar. Layar lebar adalah benda yang mubah (begitupun yang memiliki format digital). Apapun jenis dan kategori film itu. Sebab, hukum asal dari semua benda adalah mubah selama tidak ada dalil yang melarangnya (mengharamkannya). Selain itu, saya juga meng-qiyaskan film ini dengan film di tustel kamera.

Sementara itu hukum membuat film dan menonton film adalah perkara yang berbeda. Membuat film dan menonton film adalah aktivitas, dan kaidah syariat Islam untuk masalah aktivitas adalah ‘hukum asal dari perbuatan manusia adalah terikat dengan hukum syariat.’ Jadi, harus diinferensi terlebih dahulu berdasarkan empat sumber hukum Islam yang ada.

Membuat film, harus jelas agendanya. Agenda tersebut antara lain, pertama adalah tujuan pembuatan film. Tujuan pembuatan film tidak boleh bertentangan dengan Islam (seperti film ‘Fitna’-nya Wilders). Mengambil keuntungan sembari menghibur (bukan berarti melenakan), sebagaimana penjelasan kebanyakan sineas, saya rasa adalah tujuan yang diperbolehkan dalam pembuatan film.

Hal kedua yang perlu diperhatikan keterikatannya dengan Syariat adalah, formasi penyusun naskah, penulis skrip, tipe adegan, dan pemain film. Jika naskah yang disusun memuat adanya scene pelacuran ataulah bar, skrip berisi kata-kata yang tidak pantas diucapkan seperti umpatan serapah, ada adegan membuka aurat atau berciuman (apalagi mengingat pemain film tidak semahram), tentu film seperti ini diharamkan untuk membuatnya. Saya pikir, sineas yang kreatif dapat membuat film berkualitas tanpa harus melanggar Syariat. Dedi Mizwar dkk. rasanya sudah mendekati kualitas ini.

Adapun hukum menonton film di bioskop adalah perkara lain. Kita cermati terlebih dulu apa yang dilakukan oleh orang yang menonton bioskop. Bioskop merupakan tempat pertemuan yang semua orangnya menghadap layar proyeksi. Baik itu di bioskop maupun di kelas, atau di musholla, selama ada film yang diproyeksikan untuk ditonton bersama dalam satu ruang bersama, dan ada syarat untuk membayar tiket masuk, maka kita dapat menyebutnya bioskop.

Nah, manakala banyak orang berkumpul untuk melakukan aktivitas, harus dilihat terlebih dahulu kategori ruang berkumpulnya. Apakah ruang publik ataukah ruang privat. Menurut an-Nabhani, di dalam ruang publik hukum asal pertemuan laki-laki dan perempuan non-mahram adalah haram, kecuali untuk tiga perkara. Yakni, perkara pendidikan, perkara kesehatan, dan perkara muamalah (seperti jual beli, kontrak dagang, jasa naik angkot, silaturahmi). Meski diperbolehkan di dalam tiga perkara, perempuan- dan laki-laki non-mahram tetap terikat aturan seperti tidak boleh berkhalwat dan berikhtilat.

Khalwat adalah aktivitas ‘interaksi’ di antara dua orang di mana orang lain tidak akan dapat masuk ke dalam pembicaraan dua orang tersebut, baik itu dilakukan di ruang publik ataupun ruang privat. Sedangkan ikhtilat adalah ‘interaksi’ laki-laki dan perempuan secara campur baur (tidak dipisah/dihijab) untuk selain tiga perkara di atas.

Kita telah mengetahui bahwa bioskop adalah tempat pertemuan di antara sidang penonton, yang merupakan ruang privat yang dijadikan ‘milik’ publik manakala ada orang yang mau membayar untuk masuk (disewakan). Persis dengan bis kota, kereta api, dan semisalnya. Dapat diputuskan untuk menghukumi bioskop sebagai ruang publik terbatas. Ruang publik karena semua orang boleh masuk, disebut terbatas karena adanya syarat membayar untuk masuk . Hukum-hukum mengenai aktivitas di dalamnya terkait dengan hukum ruang publik, contohnya seorang muslimah harus menutup auratnya secara sempurna, dll. Hal yang sama berlaku terhadap rumah seseorang, yang merupakan ruang privat, di mana ketika orang lain diberikan ijin untuk masuk maka ia dapat menjadi ruang publik.

Lalu, aktivitas apa yang dilakukan oleh orang-orang di dalam bioskop. Mereka biasanya duduk tenang, sesuai nomor (tanpa pemisahan/hijab), melihat ke layar, menikmati sajian tontonan baik dengan serius atau mengemil. Selesai film diputar, mereka akan keluar dari ruangan dan selesailah aktivitasnya. Jika demikian saja yang terjadi, maka di dalam ruangan tersebut tidak terjadi ‘interaksi’ antar makhluk hidup yang dibebani hukum sama sekali. Yang terjadi adalah interaksi antara manusia dan benda. Seperti halnya kita membaca artikel di depan layar komputer secara bersama-sama. Ini membantah pandangan sebagian pihak yang memandang bahwa aktivitas menonton bioskop adalah aktivitas khalwat dan ikhtilat.

Dalam tataran ini, hukum menonton bioskop adalah mubah. Dari segi lain, seperti dari jenis film yang ditonton, film yang dimubahkan untuk dilihat hanya jenis film dalam dua perkara saja, yakni film yang ditujukan untuk pendidikan dan kesehatan serta ditonton orang untuk pendidikan dan kesehatan. Aspek hiburan adalah aspek sampingan yang selalu dimasukkan untuk pendidikan, dan merupakan satu aspek penting dalam hal kesehatan (seperti menghilangkan kepenatan dan kejenuhan).

Film-film seperti film percintaan boleh ditonton untuk tujuan pendidikan, namun tidak boleh ditonton untuk tujuan percintaan. Film drama percintaan boleh juga ditonton di dalam ruang privat oleh laki-laki dan perempuan yang semahram, atau ditonton secara berkhalwat oleh laki-laki dan perempuan yang telah menikah (suami-istri tetaplah non-mahram). Bila film romansa ditonton di ruang privat oleh laki-laki dan perempuan yang non-mahram dalam kondisi khalwat (seperti sepasang kekasih), maka jelas-jelas diharamkan dari segi interaksi khalwatnya.

Faktanya

Tetapi sangat disayangkan, tidak selamanya yang terjadi di bioskop adalah seperti tuturan di atas. Ternyata, di bioskop, sebagian besar aktivitas yang dilakukan adalah aktivitas interaksi antar manusia. Sebab, yang datang ke bioskop sebagian besar tidaklah sendiri-sendiri, tetapi berbondong-bondong, bahkan berdua-dua-an. Mereka pun tidak duduk tenang dan menonton. Tidak jarang mereka saling menyeletuk, berujar, dan beradu pendapat.Bahkan tidak jarang ada yang meraba tangan, berciuman, hingga (maaf) meraba dada dan petting. Inilah realitas yang ada.

Dalam kondisi ini, jelas-jelas menonton bioskop adalah haram. Dilema pun harus dihadapi oleh orang-orang lurus yang datang ke bioskop secara sendiri-sendiri atau bersama-sama keluarga, di mana mereka ‘terpaksa’ satu ruangan dengan orang-orang yang menonton bioskop untuk berikhtilat dan berkhalwat (untuk melakukan perbuatan nista).

Oleh karena alasan inilah, kemudian banyak orang yang mengharamkan aktivitas menonton bioskop (over-generalisasi). Saya sendiri masih belum tahu hukum yang lebih jelas mengenai hal ini, namun saya menghimbau untuk sebisa mungkin menghindari menonton bioskop (kecuali untuk film-film tertentu seperti Power Ranger (yang non-BF), dkk.). Banyak-banyaklah melakukan aktivitas lain yang lebih positif dan berpahala. Jikalau pun kita penat, masih banyak aktivitas pelepas kejenuhan yang berpahala, seperti olah raga, membaca Qur’an, mengikuti pengajian umum, menulis buku harian/blog, bertamasya-tadabbur (rihlah), atau malah bermesraan dengan suami/istri.

Konspirasi dan Kapitalisme

Muncullah di benak saya, bahwa sebenarnya kehadiran film-film percintaan, bahkan hingga sekaliber AAC, sebenarnya hanya bertujuan untuk mengambil untung saja. Niatan dari sineas untuk menyampaikan pesan (baik pesan yang benar atau malah pesan yang salah, menurut Islam) memang ada, namun seringkali pesan yang benar, tidak dapat dicerap seutuhnya oleh penikmat film. Terlebih setelah film tersebut kelar dan keluar, banyak slentingan negatif untuk menetralisir pesan positif tersebut. Bahkan jika bisa, pesannya diubah melalui konstruksi media massa lainnya.

Jika demikian, lantas apakah yang membuat para sineas tertarik untuk membuat film dengan setting percintaan? Jawab saya: Apalagi jika bukan karena realitas bioskop dan pasarnya yang pasti?!

Dalam piramida penduduk Indonesia, jumlah remaja Indonesia dengan usia 11-29 tahun sangatlah besar dibanding usia lainnya. Mereka adalah segmen penduduk Indonesia yang mencari jati diri, seringkali memiliki uang, jika tidak punya uang mereka akan mati-matian membanting tulang mencarinya. Sementara itu, uang tersebut cenderung dipergunakan untuk mencari kesenangan dan cinta.

Remaja Indonesia yang berpacaran dan mencari-curi cinta sangatlah banyak (naudzubillah min dzalik), dan mereka adalah pasar yang potensial untuk digarap. Muncullah bisnis-bisnis yang bertujuan untuk memfasilitasi aktivitas percintaan tersebut. Mulai dari bisnis coklat, boneka, asesoris, warung dan kafe, diskotik, bioskop, dll.

Saya masih ingat waktu dulu masih duduk di SMP dan SMA favorit sebuah kota kecil di Jawa Timur. Teman-teman yang pacaran selalu memiliki agenda tetap di hari sabtu (malam-minggu). Kencan dan Bioskop! Sebelum atau setelah dari bioskop mereka akan berdua-dua-an sambil makan malam. Yang belum pacaran pun kadang juga memiliki jadwal ke bioskop, yakni pada hari senin, hari berlakunya paket hemat

Kalaupun tidak ke bioskop, mereka yang pacaran selalu mencari tempat untuk bisa berkencan dan memadu kasih (yang ilegal itu). Yang belum pacaran pun mencari tempat-tempat yang melenakan untuk bersenang-senang (hedon), sembari ‘nyosor,’ “Siapa tahu dapat gebetan!” ujar mereka.

Saya kemudian teringat tante saya yang masih belum menikah. Maaf jika agak melenceng. Beberapa minggu lalu ia bercerita bahwa ia kelar nonton konsernya Skid Row di Ancol. Dia ada di barisan terdepan konser tersebut. Beberapa tayangan infotainment mengonfirmasi keberadaan tante saya di konser tersebut (maksudnya dia ikut kena shoot waktu konser Skid Row diberitakan).

Tante saya yang memang nge-fans dengan musik slow rock tidak merasa kehilangan, meski telah merogoh kocek 150.000 (belum bensinnya, makannya). Mengapa? Karena, stresnya hilang, penatnya hapus, jenuhnya musnah.

Saya hanya bisa tertawa di dalam hati. Menghilangkan stres kok sampai harus mengeluarkan uang ratusan ribu. Itupun untuk memberi uang kepada orang-orang yang melakukan maksiat. Padahal jika saja uang itu dibelikan makanan bergizi plus multivitamin, stressnya bisa hilang juga, sisa uangnya pun masih bisa disedekahkan kepada saya Tapi itulah dampak dari ketergantungan terhadap produk pelenaan kapitalisme. Bioskop juga demikian adanya.

Ini, bagi saya, jelas-jelas pemiskinan kantong negara, kantong orang tua, dan depresiasi mental remaja, pemuda, dan warga Indonesia secara sistematis.


Altar Selanjutnya...
Senin, 28 September 2009

CURHAT : Ramadhan Tanpa Dia dan Si Dia

Tanpa dia hidup ini terasa suram tak berwarna, hambar tak berasa. Tanpa dia alunan kumandang takbir, tahmid dan tahlil tersa ada yang kurang. Terasa berbeda memang, fase hidup 14 tahun bersamanya dengan 7 tahun tanpa dia.
Emat belas tahun bersamanya, selama itu pula hidangan idul fitri selalu penuh dengan variasi, mulai buras yang berbalut daun pisang, berlilitkan tali raffia, dan harus direbus berjam-jam diatas tunggku yang manyala-nyala sampai menu wajib orang Makassar yang berhasil membuat coto dan menyematkan nama daerahnya “Makassar”.

Namun tujuh tahun tanpa dia semuanya hanya menjadi kenangan. Dia yang tak lagi ada disisi, tak lagi menghidangkan untukku seikat buras atau semangkuk coto Makassar. Itu semua mustahil karena memang jarak antara aku dan dia begitu jauh, terpisah oleh bentangan darat dan hamparan laut. Namun dia telah menggantikan semua itu dengan selaksa doa yang selalu dia panjatkan untukku. Dan aku rasakan semua itu lebih nikmat daripada seikat buras terbaik yang pernah dia buat dan lebih sedap daripada coto Makassar terbaik yang pernah dia racik.
Ya Allah begitu besar asaku untuk bisa kembali bersama dia untuk merajut kebahagiaan Ramadhan dan bersama dia menuai kemenangan idul fitri. Semoga momen indah seperti itu akan menyingsing dif ajar kemenangan Ramadhan tahun depan. Ya Allah jika asa hamba dan kehendak-Mu tak sejalan, maka ijinkanlah aku dan dia bertemu di depan surge-Mu, dan biarkan ku genggam tangannya dan bersama beriringan masuk ke surge-Mu menelusuri permadani kemuliaan yang khusus diperuntukkan bagi pejuang dan ibunda sang pejuang.
Namun dia pun akan bahagia ketika melihat raga ini dirawat dan diperhatikan oleh si dia. Dia dan si dia ada dua sosok insan yang mampu menjadi motivator dan mampu menjadi inspirasi untuk perjalanan hidup ku (bahkan siapa saja yang membutuhkan inspirasi). Namun kehadiran si dia belum juga kunjung datang. Si dia pun sampai saat ini entah dimana rimbanya. Ia masih menjadi misteri hidup, yang mana hanya Ilahi Rabbi sang penguak semua tabir rahasia ini.
Jika si dia telah hadir, mungkin semuanya tak seperti ini, walaupun tanpa kehadiran dia. Ketika dia dan si dia tak ada maka kebahagiaan ramadhanku hanya ditemani denga deru kipas angin tua yang terus menggeleng-gelengkan lehernya menatapku heran, seraya sesekali menghardik diri ini yang tak sanggup terbang menuju dia dan tak berani mengungkapkan keinginan untuk memiliki si dia pada dia.
Namun teringat dengan kata-kata seorang bijak…jangan takut bermimpi, karena jika bermimpi saja sudah takut bagaimana mau mewujudkan mimpi itu…!!! Makanya perbanyaklah mimpi…mimpi yang realistis dan luar biasa. Salah satunya adalah membuatnya mampu bangga ketika mengetahui jika dikau adalah sang pejuang pemantik revolusi suci. Impian untuk membuat dia bangga ketika dia sadar bahwa dia telah melahirkan sesosok pejuang syariah dan khilafah, yang beberapa puluh tahun lalu masih terbaring imut, lucu, takberdaya, namun kini telah menjadi sosok pemuda tegar yang tak mau bermanis muka dengan semua sistem kufur, perjaka tegar yang tegas terhdap orang kafir dan begitu lembut kepada saudara seakidahnya.
Dan secerca asa penutup, ku ingin membuat dia tersenyum disaat si dia datang mencium tangan dia. Senyum dari sudut bibir dia yang penuh makna, dan terbesit satu dari ribuan makna itu bahwa ia bahagia karena telah mendapatkan pendamping yang seolah menjadi titisan diri dia disaat dia jauh dariku. Dan kelak aku, dia, dan si dia kan kembali bertemu di telaga kautsar, inysa Allah.


Altar Selanjutnya...

Banyak orang bilang bentangan waktu selama mengikuti kuliah kerja nyata (KKN) adalah kurun waktu untuk menggadaikan idealism untuk mereka yang meyandang predikat sebagai seorang islam ideologis. Hipotesa ini muncul dari pengalam pribadi para pelaku KKN. Katanya banyak sekali momen-momen yang akan kita temui yang mana momen itu sangat bertentangan dengan idealisme kita. Dan disinilah idealism itu akan diuji, apakah kita layak untuk dikatakan sebagai sang penggenggam ideology ataukah justru kita secara terpaksa merenggangkan genggaman kita dan melepaskan idealisme yang telah kita genggam erat.

Jawabannya tergantung sekuat apa sang penggenggam ideology itu menggenggamnya. Dan sejauh mana dahsyatnya rayuan sehingga mampu membuatnya untuk berkompromi. Jawabannya sangat subjektif sekali.
Namun terlepas dari semua itu ajang KKN membawa sejuta kenangan dan inspirasi yang dapat dijadikan sebagai pengalaman sakaligus sebagai batu tumpuan untuk melanjutkan sisa-sisa kehidupan yang tak tahu tinggal berapa lama lagi.
Banyak sebenarnya fenomena-fenomena menakjubkan yang mampu untuk menjadi pelajaran bagi mereka yang mau sejenak untuk berpikir. Namun bagi mereka yang melaluinya tanpa terbesit sedikit pun keinginan untuk mencerap kemudian memikirkannya maka masa KKN hanya akan berlalu begitu saja tanpa meninggalkan bekas yang mampu untuk menjadi inspirasi.
Dari sekian banyak hamburan fenomena hidup selama KKN ada satu fenomena yang menarik untuk dicermati dan diceritakan lewat seuntai wacana ini. Ya…KKN melibatkan anak-anak muda yang berjiwa panas dan memiliki naluri yang semenara bergejolak. Aura perasaan tertarik terhadap lawan jenis lagi menuju klimaksnya. Perasaan ini sering mereka perhalus dengan kata “cinta”. Walaupun saya pribadi sangat tidak setuju jika pengumbaran naluri ketertarikan terhadap lawan jenis yang liar itu disbut cinta. Karena cinta adalah anugrah suci yang diturunkan oleh sang pemilik cinta dan agar kesuciannya tetap terjaga maka penyalurannya harus merujuk pada apa yang dititahkan oleh sang pemilik cinta sejati.

Banyak orang bilang tanpa cinta tak mungkin dua insan anak manusia mampu bersatu. Apalagi jika memiliki niat bersatu dan melebur dalam mahligai rumah tangga. Konon cinta menjadi salah satu syarat yang wajib ada sebulum ikrar suci diungkapkan di depan sang penghulu. Dari alasan inilah banyak generasi adam dan keturunan hawa yang menjadikannya sebagai sebuah alasan untuk memupuk dahulu cinta sebelum melanggeng menuju singgasana raja dan ratu sehari.
Nah masa untuk memupuk cinta ini agar bisa tumbuh subur ini disebut sebagai masa penjajagan atau lebih lazim disebut masa pacaran. Entah bagaimana sejarahnya sampai masa ini disebut sebagai masa pacaran. Jadi para penggiat cinta dengan kelemahan akalnya telah mencoba membuat sebuah manuskrip yang berisi alur perjalanan cinta. Yang mana jika ada seseorang yang berusaha untuk tidak melewati tahapan yang telah dibuat dalam manuskrip itu maka kebahagiaan akan jauh darinya.
Sebelum berlanjut untuk mengarungi bahtera rumah tangga, sepasang insan terlebih dahulu wajib melalui masa pacaran. Masa ini adalah tempat melakukan perkenalan dan penjajagan satu sama lain. Setelah merasa cocok barulah boleh melangkah ke jenjang yang lebih serius lagi.
Namun semua logika ini terbantahkan ketika terjadi fenomena merebaknya perasaan cinta saat KKN berlangsung. Sebutlah di sebuah posko antah berantah, yang ternyata telah mampu mencetak tiga pasangan sekaligus. Entah sampai cerita ini dibuat apakah mereka masih langgeng atau sudah memutuskan mencari jalan masing-masing karena menyadari mereka sementara terlibat dalam suatu lakon sandiwara yang berjudul kamuflase cinta. Padahal mereka adalah sepasang anak manusia yang tak pernah berkenalan sebelumnnya.
Cinta memang menyimpan sejuta misteri. Ia akan muncul secara tiba-tiba kemudian membesar dalam waktu singkat dan kedatangannya tak perlu diundang. Makanya bukan hal yang ajaib jika ada orang yang berani mengarungi bahtera rumah tangga padahal sebelumnya belum pernah saling kenal, namun ternyata rumah tangganya pun dapat berlangsung langgeng semakin erat seiring berjalannya waktu. Namun diseberang sana ada pasangan yang telah lama memadu kasih dalam jejaring pacaran dan ternyata kesucian rumah tangga itu hanya mampu dijaga seumur jagung belaka.
Jadi sebenarnya nikah tak butuh cinta. Cinta bisa tumbuh saat akad nikah itu telah terucap. Cinta dapat tumbuh disaat sepasang insan sering bertemu, sering bersama, sering berbagi, seperti apa yang sering dilakukan oleh mahasiswa KKN sehingga sangat memungkinkan cinta itu tumbuh diantara mereka. Terlebih lagi cinta itu adalah hidayah Allah. Selama niat menikah itu didasari untuk menjaga kehormatan dan kesucian diri serta dalam rangka menjalankan syariat Allah demi meraih ridha-Nya, maka dengan niat luhur seperti itu yakinlah Allah akan menong siapa saja yang memiliki niat luhur seperti itu. Dan salah satu bentuk pertolongan Allah yang paling mungkin adalah menumbuhkan rasa sayang di antara sepasang insan tadi. Dan Allah lah yang akan menjagga rajutan cinta yang telah mereka sulam berdua. Hal ini adalah perkara yang sangat mudah bagi Allah. Menumbuhkan cinta tidak lebih sulit daripada mengakhirkan kehidupan dunia. menjaga ketentraman rumah tangga tidak lebih sulit daripada menerbitkan matahari dari barat.
Untuk itu jangan terlalu percaya dan latah mengikuti manuskrip jejang cinta yang telah disusun oleh manusia yang sebenarnya adalah sosok yang paling tidak mengerti apa itu cinta. Jalani dan rajutlah cinta sesuai dengan yang telah dituntunkan oleh sang pemilik cinta, karena hanya dengan itulah cinta akan menemukan bentuk sejatinya. Dan dengan pertolongannya rumah tanggamu akan menjadi titian yang membimbingmu menuju mahligai surge, insya Allah…



Altar Selanjutnya...

Selaksa asa menggelayut dihati ketika ku tapakkan kaki ini di tempat yang tak pernah ku kenal sebelumnya. Tempat yang berhambur sinar mentari dan jalan berbatu. Seskali senyuman bukit-bukit kecil dan kicauan burung-burung aneh disepinya malam, sering hadir tanpa diundang. Tampaknya mereka semualah yang akan menjadi temanku selama dua purnama. Ehm…untaian waktu yang cukup panjang, namun harus dilalui untuk sebuah formalitas akademik.
Kegalauaan semakin membuncah ketika senandung panggilan Allah Tuhan seru sekalian alam, mencoba untuk kugubris namun tak berhasil. Terpaksa kening ini merapat tuk sujud di hadapan-Mu ditempat yang tak semestinya. Seharusnya kening ini bersujud di altar lantai rumah Allah bukan dilantai rumah kosong tak berpenghuni.

Jika kegalauaan sampai pada titik nadir, maka ia akan merangsang kaki ini tuk mencari dimana sebanarnya rumah Allah itu berada. Ternyata bukan cuma sanubari ini yang merasakan kegalauan itu, ada empat insan manusia yang juga merasakan dan mencoba menyibak tabir kegalauan hatinya.
Sepuluh terompah modern, diatas lima jasad berjalan menelusuri jalan berbatu, berkelok, dan sering diringi irama gonggongan anjing. Hati mulai bertanya, bibir mulai mengeluh. Sudah terlalu jauh kaki ini melangkah namun rumah Allah tak kunjung terlihat. Alhamdulillah rayuan malaikat masih lebih kuat dari pada rayuan setan yang penuh dengan tipu muslihat. Asa ini tak boleh putus, kecuali jasad telah meregang nyawa. Itu adalah prinsip dasar yang harus terpatri dalam setiap pejuang dan dengan bangga aku katakan kami adalah para pejuang.
Dari kejauhan kulihat sebuah kubah yang tak asing. Warnanya tak lagi perak namun telah berubah menjadi coklat tua pertanda korosi yang akut telah terjadi padanya. Dua kuseng pintu yang sudah tak kokoh lagi menyiratkan pesan bahwa usia masjid ini tidaklah muda.
Tak ada sajian pemandangan yang istimewa dari masjid ini. Biasa-biasa saja, itulah penghargaan tertinggi yang bisa ku berikan untuk masjid tak bernaman ini. Bahkan jika mau jujur, perasaan prihatinlah yang menggelayut dalam hati. Bayangkan saja jendela-jendala kaca yang seharusnya cemerlang bak cermin, dipenuhi dengan debu-debu beterbangan. Lantainya tak selicin yang ku bayangkan, butiran pasir kecil terasa menggelitik telapak kaki.
Ya masjid tua yang semakin rapuh. Aku lebih terkejut lagi ketika melihat shaf shalat yang kosong, hanya ada seorang disana yang duduk seolah menanti sesuatu yang tak pasti. Badannya sudah tak tegap lagi, kulitnya sudah tak kencang lagi. Rambut tipis beruban yang ditutupi kopiah putih lusuh membuatku dapat menebak telah berapa lama ia berdiri tegar di atas bumi ini.
Tak perlu ku uraikan panjang, namanya Haji Coppeng…sosok yang telah menjadi inspiratorku dan mungkin beberapa sahabatku yang lain. Di usianya yang semakin senja, ia masih mampu melangkahkan kakinya dan berusaha memakmurkan masjid. Entah apakah diri ini masih mampu memakmurkan masjid disaat rambut tak lagi hitam, saat mata mulai rabun. Namun sosok ini telah memberiku pelajaran, bahwa usia boleh tua namun semangat tak boleh pudar.
Entah berapa banyak pahala yang telah masuk dalam pundi-pundi amalnya. Bayangkan saja, merangkap tiga aktivitas dalam setiap waktu shalat. Sebagai seorang muadzin, mengumandangkan adzan pertanda waktu shalat telah masuk. Selang beberapa menit mengumandangkan iqomah. Dan menyempurnakannya dengan tampil sebagai imam sang pemimpin shalat. Ia tak tamak, Ia sebenarnya ingin berbagi, namun sayang tak ada tempat untuk berbagi karena hanya ia seorang sang pemakmur rumah Allah.
Pelajaran berharga, jangan pernah putus asa walaupun hanya seorang. Jika memang tak ada yang mau menemanimu dalam perjuangan nan indah ini, maka lanjutkan…Allah tidak buta dan pasti akan menurunkan pertolongannya. Sekali layar terkembang, pantang biduk surut ke tepian. Sekali kaki ini melangkah tak ada kata mundur sebelum Islam menang, kaum muslimin mulia atau aku gugur sebagai syuhada.
Engkau begitu jauh dari mereka golongan priayi karena memang engkau lebih layak masuk dalam komunitas kyai. Mereka sering bergumul dan bercerita tentang kemajuan desa yang mereka pimpin dengan sejuta prestasinya, namun mereka tak pernah memperhitungkanmu padahal boleh jadi hamparan sukun masih boleh menghijau karena Allah masih mendengar senandung azanmu, bisa jadi rumpun tebu yang engkau berikan kepada kami diakhir sua kita masih ingin tumbuh karena senandung doa mu…namun sedikit yang menyadari itu…

Haji Pattani….haji Coppeng…teruslah berjuang walau hanya seorang ditengah tumpuan kaki yang tak begitu kekar lagi…ditengah lentingan suara yang sudah mulai parauh…

(Tenri Pakkua 10 Juli – 24 Agustus 2009)



Altar Selanjutnya...